Praktik Homoseksual di Pondok Pesantren

27 Februari 2010

Spiritualism

Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren

Praktik Homoseksual di Pondok Pesantren

Benarkah ada Praktek Homoseksual Gay Lesbian di Pondok Pesantren ?

Bila mendengar praktik homoseksual dikecam oleh para pemimpin agama, hal ini mungkin sudah lumrah lagi bagi kebanyakan orang. Karena homoseks, seolah tidak punya hak seksual sama sekali. Namun penelitian Iskandar Dzulkarnain, justru menunjukkan bahwa dalam ruang-ruang tertentu, para santri agama Islam melakukan praktik homoseksual ini. Thesis yang dirampungkan Iskandar di program sosiologi Universitas Gadjah Mada, berjudul Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren, juga menjadi bahan diskusi pada seminar bulanan GAYa NUSANTARA baru-baru ini.

Iskandar sempat mondok di dua pesantren di Sumenep, yang terkenal cukup kental ke-Islamannya. Salah satu pondok yang dikunjunginya adalah pesantren tradisional bernama An-Naqiyah. Yang ditemukan di sana adalah, praktik homoseksual dengan mudah dapat dijumpai dan bahkan dilakukan dengan cukup terbuka di dalamnya. Sedangkan pesantren lain yang dikunjungi Iskandar adalah pondok modern, Al-Amanah. Di sini perilaku homoseksual amat tertutup, tapi praktiknya masih dilakukan.

Pondok Pesantren An-Naqiyah dan perilaku homoseksual

Kebanyakan pondok pesantren amat ketat membatasi pergaulan antara lawan jenis. Kedekatan antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya dianggap tabu. Pondok Pesantern An-Naqiyah di Sumenep tidak terkecuali. Menurut Iskandar, mereka memisahkan setiap santri laki-laki dengan santri perempuan di dalam pondokannya, bahkan para santri laki-laki tidak diperbolehkan sembarangan untuk memasuki wilayah nyai-nyai atau putri para kiai.

Kamar-kamar di bagi para santri di pondokan ini lebih ditetapkan sesuai dengan keinginan santri. Tapi, pada umumnya santri paling seniorlah yang menjadi ketua kamar tersebut. Setiap kamar yang berukuran sekitar 5 x 5 meter, dijejali 20 hingga 30 orang. Jadi, kamar itu fungsinya amat terbatas: hanya untuk beristirahat, menyimpan barang, atau berganti pakaian. Kegiatan lainnya seperti belajar dan tidur biasa dilakukan di depan kamar masing-masing atau di beranda masjid. Kamar mandi yang juga amat terbatas, membuat para santri mempunyai kebiasaan untuk mandi bertelanjang bersama-sama. Di sinilah keakraban sesama pria semakin menemukan lahannya. Obrolan, gurauan dan diskusi terbuka tentang hasrat seksual para santri bukanlah hal yang aneh.

Lewat observasi, wawancara, atau percakapan sehari-hari dengan para penghuni pondok ini, Iskandar menyimpulkan bahwa ada tiga pola relasi homoseksual di antara para santri di pondok pesantren An-Naqiyah. Pertama: relasi dengan ikatan, kedua: relasi tanpa ikatan, dan terakhir: relasi seksual untuk kenikmatan.

Pola relasi homoseksual dengan ikatan biasanya melibatkan santri senior dengan santri yang baru saja mendaftar. Ketika baru masuk, beberapa pendaftar yang muda (berumur 12-13 tahun), telah diincar oleh santri yunior yang menerimanya. Seringkali di saat pendaftaran itu, terjadilah kesepakatan di antara kedua santri tersebut. Biasanya kedua santri tersebut akan menempati kamar yang sama, karena kesepakatan di antara mereka untuk saling membantu, saling menjaga, dan saling memberi, dan saling mengasihi. Santri senior dalam hal ini adalah ketua kamar yang disegani oleh penghuni kamar yang lain, sehingga tidak ada santri-santri penghuni kamar lain yang berani melawannya.

Dalam kesehariannya kedua santri tersebut akan bersama, saling bergandengan ke manapun mereka pergi. Dalam hubungan ini juga terdapat sistem kekuasaan yang tidak setara, yaitu santri senior bertindak sebagai suami yang konvensional: ialah yang menjaga, membimbing, memberi petuah, dan terkadang juga harus memberi nafkah. Sedangkan santri yunior tersebut berlaku sebagai sosok istri yang menurut terhadap suami, bersedia menemani dan melayani suami kapanpun dan di manapun, serta memasak untuknya.

Biasanya hubungan ini dilakukan di kamar yang mereka tempati. Karena di kamar tersebut santri senior menjadi ketua kamar, jadi ia mempunyai lebih banyak hak dari yang lain. Dalam pola ini biasanya pasangan tersebut hanya saling memeluk, mencium, meskipun tidak menutup kemungkinan lebih jauh. Dari wawancara Iskandar dengan seorang santri senior, bahkan juga terjadi gesek-gesek alat kelamin ke paha atau bahkan ke ketiak pasangannya. Pola ini juga tidak menutup kemungkinan terjadinya hubungan dengan penetrasi anus. Begitu umumnya hubungan homoseksual ini di pesantren An-Naqiyah, sehingga para santri di pondok itu terkadang mengejek mereka yang tidak mempunyai pasangan atau yang tidak melakukan hubungan homoseksual dengan santri lainnya.

Di antara santri muda yang mendaftar, beberapa ada yang tahu kalau hubungan homoseksual akan terjadi bila mereka masuk pesantren. Hal ini seperti sudah menjadi pengetahuan umum di antara banyak santri, yang diturunkan pada lainnya. Tapi, karena masyarakat semakin tertutup, terkadang hal ini tidak dibicarakan lagi dan menimbulkan kekagetan pada santri baru.

Para santri senior ini akan mencari “sasarannya” pada malam hari. Yang dijadikan “sasaran” kebanyakan adalah santri yunior yang sedang tidur. Santri senior biasanya mengikuti santri yunior yang diincarnya dan kemudian tidur di dekat santri itu.

Kebiasaan para santri untuk tidur dengan sarung dan tidak menggunakan celana juga menjadi faktor yang memudahkan hubungan ini. Biasanya santri yunior yang menjadi sasaran, karena kesenioran sang pelaku bisa menekan kemarahan sang santri yunior ketika mereka mengetahui telah menjadi “korban”.

Pola relasi homoseksual yang ketiga adalah seks untuk kenikmatan. Pada pola ini, tidak dikenal istilah santri senior dengan santri yunior. Karena relasi ini kebanyakan terjadi antara para santri yang seangkatan, juga tidak menutup kemungkinan mereka yang sekamar. Kesempatan yang terbatas bagi sesama santri yunior terkadang justru menambah kegairahan seksual ketika melakukannya. Terkadang, mereka juga melakukan berkelompok. Misalnya, santri yang lebih kalem, penakut dan penurut, untuk dijadikan korban dalam pola relasi seksual untuk kenikmatan ini. Korban tersebut akan dipegang beramai-ramai, dan kemudian salah satu dari kelompok santri tersebut yang melakukan pemaksaan onani terhadap korban tersebut sampai ia mencapai klimaks.

Walau praktik homoseksual di dalam pondok ini cukup terbuka, biasanya mereka enggan menceritakannya di luar lingkungan pesantren, karena kuatir akan stigma yang ada. Beberapa dari santri itu memang masih mengakuinya tanpa ragu-ragu bila ditanya, namun ada juga yang tidak mau mengakuinya.

Perilaku Homoseksual di Pondok Modern Al-Amanah

Institusi modern seringkali melakukan represi terhadap tubuh dan seksualitas. Pada masa Orde Baru, tubuh manusia adalah salah satu sasaran utama kekuasaan yang ada: Ia harus tunduk pada otoritas pemerintah sehingga mudah disetir untuk melakukan apa saja demi keuntungan si penguasa. Institusi modern terkadang penuh dengan kemauan seperti ini, seperti penjara dan rumah sakit jiwa. Ukuran kejahatan dan ketidak-warasan seringkali tergantung pada kehendak sang penguasa saat itu. Pramoedya Ananta Toer-pun sempat dijebloskan penjara dan bahkan dianggap gila pada masa Orde Baru. Perempuan yang dianggap terlalu terbuka seksualitasnya juga akan dikecam habis-habisan, dan ini dapat dilihat dari lahirnya Undang-undang anti pornografi.

Hal serupa dapat ditemui Iskandar Dzulkarnain di pondok pesantren yang dianggap modern, Al-Amanah. Kedisiplinan merupakan hal yang sangat dikedepankan ketimbang yang lain. Kontrol terhadap setiap perilaku santrinya amat kuat, dan pada akhirnya memberi kuasa yang besar pada pemimpin institusi pondok pesantren tersebut. Contohnya, pemimpin pondok pesantren Al-Amanah mempunyai kuasa untuk mengusir para santri yang berperilaku tidak disiplin atau melanggar peraturan.

Secara seksualitas, para santri di Al-Amanah hampir sama dengan santri di An-Naqiyah, yakni mereka hidup terpisah dari lawan jenisnya pada usia masa-masa pubertas, ketika dorongan seksual atau libido mereka sedang kuat-kuatnya. Namun dengan kolotnya peraturan yang ada di Al-Amanah menjadikannya sulit bagi para santri untuk mengekspresikan gairah seksualitas mereka.

Pondok pesantren Al-Amanah adalah cerminan dari institusi modern yang telah melahirkan homophobia dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku sesama jenis ada dan tak bisa dipungkiri di sana, namun harus dirahasiakan sebisa mungkin.

Diskusi dan pernyataan hadirin:

Pengakuan dari beberapa hadirin pun bermunculan sesudah presentasi Iskandar selesai. Beberapa di sana yang sempat mondok di pesantren mengakui adanya hubungan seperti ini. Bahkan salah satu dari menyatakan pernah berhubungan dengan seorang santri senior, tapi kemudian santri ini tidak ragu-ragu mengecam perilaku homoseksual di depan umum.

Mungkin ini juga salah satu ciri ke-modern-an kita. Yang karena merasa telah beradab sehingga terkadang menyangkal adanya gairah seksualitas, dan menghubungkannya dengan dunia kebinatangan (walaupun manusia sebenarnya bisa dikategorikan sebagai hewan). Tapi, pada sisi yang lain, mereka masih mempunyai hasrat itu dan tidak bisa menahannya. Lalu, diam-diam melakukannya di balik pintu.

Yang saya kritisi pada perilaku homoseksual di pesantren ini bukanlah homoseksualitas itu sendiri, namun adanya relasi kekuasaan yang amat kuat di sana. Para santri senior seakan mendapat dominasi kenikmatan, sedangkan yang yunior masih harus menjadi sasaran atau bahkan korban mereka.

Begitu juga ketika para santri di pondok An-Naqiyah dengan sengaja memilih salah seorang santri yang lebih kalem dan penurut untuk dipaksa beronani. Masih ada unsur kekuasaan yang meraja lela di antara kenikmatan ini. Di pondok An-Naqiyah yang lebih menekankan kesetaraan ketimbang disiplin yang memberi kekuasaan pada pemimpinnya, masih ada hierarki dalam praktik seksualitas itu sendiri. Ketidak-mampuan para santri yunior untuk marah ketika sadar bahwa mereka telah menjadi korban, merupakan wujud penindasan tersendiri.

Mungkin, justru inilah yang perlu diperdebatkan kembali. Bahwa relasi kuasa bisa berlapis-lapis adanya. Bahwa ia dapat terjadi tidak saja di dalam wacana ketertutupan, namun juga keterbukaan seks. Bukan orientasi seksual dari praktik itu yang seharusnya dipermasalahkan, selama yang bersangkutan melakukannya atas dasar saling suka dan tidak ada tekanan sama sekali. Pendaftar baru dari pesantren itu tentunya merasa rikuh, sungkan dan bahkan terintimidasi oleh santri senior, sehingga hubungan antar keduanya patut dipertanyakan lebih jauh.

Bila keterbukaan itu ada, paling tidak masih ada celah, bagaimanapun kecilnya, untuk mengungkap hal ini, karena ia masih disebutkan daripada ditiadakan sama sekali. Sedangkan bila praktik itu dirahasiakan, maka para penguasalah yang menjadi semakin mendapat angin karena ia bisa melakukan hampir apa saja, tanpa perlu membahasnya. Keterbungkaman adalah hal yang amat menguntungan bagi sang penguasa. Bukankah dalam masa Orde Baru, Soeharto begitu menggebu dengan menyensor apa saja, untuk membungkan mulut rakyatnya? Bukankah dia yang begitu bernafsu menekankan moralitas Pancasila dan mengharuskan anak-anak menghafalkannya, sedangkan ia sendiri bisa melaksanakan kekejiannya dengan leluasa?

Pembahasan Praktek Homoseksual di Pondok Pesantren ini juga dibahas dibeberapa blog lainnya:

Sobat, ketika kita berbicara Homoseksualitas Pesantren seakan akan kita tidak akan habis-habisnya mengupas fenomena ini dari berbagai sisi.Bahkan akan membuat kita bingung karena adanya sisi PARADOKS yang sangat kental,hal ini suatu hal yang logis karena disatu sisi pesantren merupakan tempat menimba ilmu agama untuk mempersiapkan generasi islami yang berakhlak mulia namun,disisi lain kita menemukan praktik homoseksualitas yang ada di dalamnya.

Kawan, perlu diperhatikan dalam fenomena homoseksualitas pesantren tidak mengeneralisasi seluruh pesantren seperti ini,jadi saya hanya menginformasikan bahwa fenomena ini bener-bener ada

http:// kanal3.wordpress.com/2011/06/04/ mairilhomoseksualitas-pesantren-antara-kenyataan-dan-khayalan/

Seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang ditabukan di lingkungan pesantren. Namun, faktanya pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Muncullah praktik seks (atau cinta?) sejenis atawa homoseksual, yang di pesantren popular dengan sebutan mairil. Praktik ini berjalan secara diam-diam, bahkan mungkin diketahui oleh sang kiai.

Mairil sudah menjadi khasanah klandestin di pesantren, bahkan kadang menjadi bahan guyonan renyah. Humor ini biasanya terjadi ketika ada santri baru datang ke pondok. Anak atau remaja yang belum tahu apa-apa tentang pondok pesantren ini akan disuruh untuk menghadap santri-santri senior, istilahnya perkenalan atau sowan. Nah, para penggojlog ini menyuruh si anak bilang begini pada sang senior: “Pak, saya mau mairil”, atau “pak, saya siap di-mairil”, dan sejenisnya. Para senior ndlowor itu biasanya bilang kalo mairil artinya adalah belajar atau ngaji atau apalah.

http:// sorbanyangterluka.blogspot.com/2009/02/wacana-mairilsebuah-praktik-homoseksual. html

Oleh Soe Tjen Marching (Majalah Bhinneka, edisi 5 “Seks, Mengapa Tabu”)

 


, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Komentar ditutup.