LGBT dan Kekotoran Berpikir

24 Mei 2010

Inspirational

Artikel dari Soe Tjen Marching

Bila saya menulis tentang Lesbian Gay Biseksual dan Transeksual (istilah kerennya LGBT), biasanya akan ada beberapa yang berpikir bahwa saya adalah lesbian. Namun, dugaan ini salah. Saya adalah seorang heteroseks yang tidak saja sempat memandang LGBT dengan negatif, tapi juga dengan jijik.

Lalu, apa yang mengubah saya?

Adalah seorang sahabat, yang kemudian menjadi salah satu teman akrab saya. Yang kemudian mengakui bahwa ia adalah lesbian, beberapa tahun kemudian. Bila ia sendiri tidak mengakuinya, apakah saya akan tahu? Mungkin tidak, tapi ada sedikit kecurigaan setiap kali saya menceritakan tentang lelaki yang menarik perhatian saya, sedangkan dia sendiri tidak pernah. Bertahun-tahun lamanya ia bersahabat dengan saya, tanpa pernah menyatakan adanya pria yang disukai. Namun, hal ini sebenarnya tidak terlalu mengganggu saya selama itu.

Justru ketika ia berterus terang, ada rasa campur aduk yang sulit diceritakan. Pada satu sisi, saya merasa lega dan bisa menjelaskan mengapa ia tidak pernah tertarik pada lelaki. Pada sisi lain, saya juga masih merasa janggal mempunyai sahabat lesbian dan juga ada dorongan untuk meninggalkan dia karena orientasi seksualnya ini.

Mengapa? Hal ini yang kemudian saya tanyakan berulang-ulang. Mungkin karena ada rasa penolakan. Tapi apakah ini masuk akal? Bukankah saya sudah berteman dengan dia, seorang lesbian, bertahun-tahun lamanya dan mengapa rasa ini timbul tiba-tiba, hanya karena dia mengaku lesbian? Mengapa pengakuan ini yang justru menyebabkan saya menolak dia? Bukankah ini berarti penolakan yang mengada-ada? Kejijikan yang timbul bukan karena kelesbianan teman saya ini, tapi karena pikiran saya sendiri ketika mengetahui dia lesbian.

Inilah bedanya. Selama bertahun-tahun bersahabat dengannya, saya tidak pernah merasa aneh. Justru kesadaran saya bahwa ia lesbian-lah yang membuat saya merasa aneh. Jadi, bukankah penolakan ini disebabkan hanya karena pikiran saya sendiri?

Dan kemudian saya pun bisa mengakui, bahwa saya sendiri pernah terangsang bila membayangkan perempuan. Mungkin ketakutan untuk mengakui hal ini juga yang menyebabkan saya menolak teman tersebut.

Semua pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat saya tetap bersahabat dengan dia. Justru kemudian, pengakuannya membuat kita semakin dekat, karena dengan begitu, ia tidak lagi merasa janggal akan identitasnya. Hubungan kita bertambah erat dan lebih terbuka.

Lalu, apa pentingnya orientasi seksual sebenarnya? Saya dan dia bisa menjadi sahabat apapun orientasi seksualnya. Dan berapa di antara teman, saudara dan anggota keluarga kita yang sebenarnya telah memendam rahasia ini begitu lama?

Penelitian tentang hal ini memang beragam, ada yang menyatakan LGBT di antara 1:7 sampai 1:9, dan yang paling rendah angkanya adalah 1:10. Namun, mari kita pakai rasio 1:10 untuk membayangkan adanya mereka di antara kita. Bila kita berkumpul dengan teman sekelas di sekolah (yang jumlahnya sekitar 30-40), maka kemungkinan besar akan ada 3-4 di antaranya yang mempunyai orientasi seksualitas ini. Bila kita mempunyai 10 sepupu, maka kemungkinan besar 1 di antaranya adalah LGBT. Bila kita menonton pertandingan sepak bola, maka di antara pemain kemungkinan ada 2 orang yang gay, apalagi di antara penontonnya yang ribuan.

Mereka ada di antara kita. Mereka mungkin sedang duduk di sebelah kita, berbicara dengan kita dan begitu dekat dengan kita, tanpa kita sadari. Dan ketika kita menyadarinya, kesadaran ini seringkali membuat kita memusuhi mereka. Bukankah ada begitu banyak kisah di mana orang tua menjodohkan dengan paksa seorang lelaki dengan anak perempuan mereka, karena ketahuan bahwa ia lesbian? Salah seorang teman lesbian saya bahkan bercerita bahwa kekasihnya dijodohkan dengan lelaki yang dipandang rendah oleh sang orang tua itu sendiri (karena ia pengangguran). Tapi, karena sang orang tua begitu menghina anaknya sendiri (hanya karena ketahuan lesbian), ia dicampakkan dan tidak dihargai. Yang penting, adalah pemuasan “ego” mereka yang tanpa alasan menabukan lesbian, bukan nasib si anak tersebut. Hal inilah yang seringkali membuat para LGBT menyembunyikan diri.

Sayangnya, interpretasi agama yang kolot selalu digunakan untuk menyerang mereka. Dalam Islam dan Kristen, yang paling sering disebut adalah kisah Sodom dan Gomorrah. Sodom dihubungkan dengan sodomi, dan dosa manusia-manusia homoseksual.

Padahal kata Sodom berasal dari bahasa Hebrew S’dom yang berarti terbakar, sedangkan Gomorrah berasal dari kata Amorah yang berarti tumpukan yang hancur. Ini menyiratkan bahwa kota-kota itu diberi nama setelah keduanya hancur, dan bukannya nama asal kota tersebut. Artinya interpretasi sodomi itu muncul sesudahnya, bukan sebelum kejadian.

Dalam masa millennium inipun, tsunami di Aceh masih sering dikaitkan dengan murka Tuhan yang menghukum orang-orang Aceh dengan bencana alam. Apa dosa mereka? Lalu, timbullah berbagai interpretasi akan dosa manusia Aceh. Hal ini terjadi di saat teknologi sudah begitu maju. Bayangkan beribu tahun yang lalu, ketika kehancuran besar-besaran atas dua buah kota terjadi. Apa penjelasan yang paling masuk akal bagi manusia yang masih belum mengenal teknologi yang mendeteksi gejala alam? Yang terjadi pada dua kota tersebut, kemungkinan besar adalah bencana alam, yang kemudian diberi interpretasi oleh orang-orang yang menuliskannya.

Lebih-lebih lagi, penterjemahan bahasa dapat membuat kisah Sodom dan Gomorrah lebih rancu. Kisah ini tidak pernah menyebutkan bahwa homoseksual itu dosa. Yang dikecam justru ketidaksopanan mereka saat menyambut tamu dan kebiasaan para lelaki yang bermabuk-mabukkan dan menelantarkan istri mereka. Baru selanjutnya, kata sodomi dihubungkan dengan Sodom (yang sekali lagi, artinya adalah terbakar, dan tidak ada hubungannya dengan penis). Namun, tentu saja ada pertanyaan: “Bukankah kedua kata tersebut mirip dan hanya terpaut sedikit?” Memang, mirip tapi bayangkan bila kata “garam” disamakan dengan “haram”, kata “satu” disamakan dengan “saru”, dan kata “buci” (butchie) disamakan dengan “suci”. Lalu, alasan yang serupa diajukan: “Bukankah kedua kata itu mirip, jadi bisa disamakan?”

Memang, dalam masyarakat, LGBT masih sering dianggap penyakit. Saya sendiri tidak setuju bila orientasi seksual tertentu dipandang sebagai penyakit. Tapi bila memang mereka masih menganggap sebagai penyakit, bukankah bila kita mendengar teman kita terkena penyakit, maka kita akan berbaik hati kepada mereka? Kita akan menolong pekerjaan mereka dan bahkan menyumbang mereka. Kita akan memberi mereka kemudahan dan memaklumi bila mereka lebih gampang naik darah karena mereka sedang dalam kondisi yang kurang baik.

Namun yang terjadi pada LGBT ini adalah sebaliknya: Mereka dianggap sakit, namun yang sehatlah yang mengusik mereka, menyakiti mereka dan bahkan memberi berbagai masalah baru yang tidak perlu.

Bukankah dalam hal ini, para manusia heteroseksual yang merasa normal, yang telah berpikir rancu?

, ,

Komentar ditutup.