Kekerasan kultural misalya, dibuktikan melalui konsepsi mereka tentang kafir, penyesatan dan sebagainya. Melalui konsep ini, mereka mengembangkan kekerasan struktural dengan memarginalisasi kelompok masyarakat yang tidak sesuai dan tidak mengikuti ajaran mereka. Kekerasan ini lantas diikuti oleh kekerasan langsung berupa pengepungan dan pembunuhan.
“Semua itu, eksplisit atau implisit, didasarkan pada ajaran agama. Jadi, kekerasan mereka muncul dari radikalisme keberagamaan,” simpul Asisten Drektur Bidang Akademik Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel (2005-sekarang) ini.
A’la mencontohkan, salah satu kekerasan langsung itu dialami keluarga Kerajaan Pagaruyung, Tanah Tidar. Kerajaan yang telah memeluk Islam sejak abak ke-16 ini diserang kaum Padri pada 1808. Tragedi ini, bermula dari pertengkaran antara kaum Padri dengan kaum adat yang diwakili raja dan pembesar Kerajaan Pagaruyung.
Tuanku Lelo, seorang tokoh Padri dari Tapanuli Selatan, menuduh beberapa orang dari keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang dan seorang putera raja lainnya tidak menjalankan akidah Islam secara benar dan bahkan dianggap kafir. “Karena itu harus dibunuh. Pembantaian massal pun terjadi, sehingga semua rombongan raja beserta pembantu raja dan para penghulu lainnya terbunuh,” ungkap A’la.
Menurut penelitian A’la, tragedi serupa terulang pada 1815. Di bawah kepemimpinan Tuanku Lintau, kaum Padri membunuh hampir seluruh keluarga kerajaan. Akhirnya Istana Pagaruyung yang bernama Istano si Linduang Bulan itu terbakar dan nyaris hancur. Tidak hanya keluarga kerajaan, kekerasan kaum Padri juga mengarah pada siapapun yang tidak mengikuti ajaran mereka, termasuk keluarga dan kerabat yang tidak mau mengikuti mereka.
Namun demikian, A’la mengingatkan, kendati antara Padri dan Wahabi ada benang merah, kita tidak seharusnya melakukan generalisasi apalagi simplifikasi bahwa gerakan Padri adalah gerakan Wahabi itu sendiri. Ini karena masing-masing gerakan memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Lebih tidak tepat lagi, imbuhnya, jika gerakan Padri dianggap sebagai representasi seluruh radikalisme. “Lebih naif lagi jika itu dipahami sebagai gerakan seluruh umat Islam,” tegasnya.
Yang jelas, tulisnya, radikalisme dengan kekerasan senantiasa mengancam eksistensi kemanusiaan. Namun ia mengingatkan, kekerasan ini tidak bisa dihadapi melalui kekerasan pula. Dengan segera kembali pada moralitas luhur yang kita anut masing-masing lah ia bisa dilawan.
“Di atas semua itu, agama harus dilepaskan dari politik kekuasaan dan dijadikan alat justifikasi. Agama perlu dikembalikan pada eksistensinya sebagai sumber moralitas luhur. Melalui pendekatan moral ini, langit harapan akan tampak lebih cerah,” harap A’la.
Karenanya, A’la mengakui, apa yang ditelisiknya ini bukan untuk menghukumi kaum Padri, melainkan untuk mendiskusikan radikalisme mereka dan mengungkapkan hubungan antara kekuasaan dan agama yang membentuk radikalisme mereka. “Setelah itu kita dapat mengambil pelajaran yang terbaik,” tulisnya berharap.
Polemik Padri tidak lantas mati. Penyebab terpenting, Hamka tidak membahas pokok soal: pembantaian Pagaruyung dan Batak. Buku Hamka kritis, tapi ia menghindar menulis tragedi berdarah tadi. Dan kini Tuanku Rao diterbitkan kembali. Bahkan sebuah buku baru kekejaman Tuanku Tambusai, karangan seorang ahli sejarah Mandailing, juga muncul.
Tak perlu cemas menyikapi pengungkapan fakta baru sejarah ini. Sangat tak beralasan menyulut konflik Minang dan Batak karena ada yang mendedahkan tarikh baru. Polemik Parlindungan dan Hamka sebenarnya contoh baik. Debat tidak melahirkan permusuhan etnis atau pembakaran buku histori. Keduanya bersahabat, Parlindungan selalu menjemput Hamka untuk salat Jumat bersama.
Nama Imam Bonjol biarlah tetap menghiasi buku sejarah, juga menjadi nama jalan di berbagai kota. Hanya perlu informasi tambahan tentang kekerasan Padri, tanpa bumbu sensasi, dalam rumusan yang disepakati bersama. Data baru itu penting untuk menambah kedalaman buku sejarah kita.
28 Januari 2010
Spiritualism