Artikel dari Mang Ucup, The Drunken Priest
Pada awal bulan Februari yang lampau siaran TV Netwerk di Belanda mentayangkan reality show dimana seorang wanita lansia bunuh diri dihadapan kamera. Mengingat usianya sudah 99 tahun maka ia dibantu oleh Albert putera kandungnya dengan menggiling puluhan pil obat tidur sebelumnya untuk diramu dengan Yoghurt yang akhirnya diminum oleh nenek Moek Heringa, sebagai minuman terakhir di dalam hidupnya.
Nenek ini dalam keadaan sehat waalfiat. Ia tidak menderita sakit, stress entah apapun juga. Ia ingin melakukan bunuh diri ini hanya dengan satu alasan saja, karena ia merasa sudah bosan hidup, sehingga ia tidak mau menunggu untuk bisa hidup lebih lama lagi. Mang Ucup sendiri mendukung sepenuhnya keputusan mulia dari sang nenek tsb.
Hidup itu bukanlah kewajiban melainkan hadiah, apabila ini hadiah, maka seyogiyanya kita harus diperkenankan juga untuk mengembalikan kembali kepada sang Pemberi. Bahkan disemua kitab ajaran agama di dunia ini menilai, bahwa kehidupan ini hanya sekedar pinjaman saja. Nah kalau saya sudah bosan meminjamnya, bukankah saya juga berhak untuk mengembalikannya lebih awal? Aneh bin nyata setiap manusia berhak untuk bisa hidup, tetapi tidak berhak untuk bisa mati!
Pada saat ini usia mang Ucup sudah mencapai 68 tahun, berarti sudah lebih dari cukup menjalani masa hidup saya. Disamping itu dengan saya melakukan bunuh diri, berarti saya bisa mengurangi beban bagi anggota keluarga yang ditinggalkan. Mereka tidak pelu bayar biaya rumah sakit, sedangkan saya sendiri tidak perlu menderita sebelumnya maut menjemput saya. Saya ingin mati secara wajar dirumah dalam lingkungan anggota keluarga yang saya kasihi. Pada jaman sekarang ini sudah jarang sekali di Eropa; orang bisa mati dengan wajar, tanpa harus mati di ICU rumah sakit dengan berbagai macam slang di hidung maupun dibadan. Apabila saya yang menentukan waktunya pulang ke alam baka, berarti sebelumnya saya bisa mengadakan pesta perpisahan terlebih dahulu dengan seluruh rekan-rekan maupun handai taulan saya; dalam suasana gembira dan penuh dengan rasa sukacita.
Sebagai lagu terakhir akan diputar lagu “My Way” sebab inilah jalan pilihan terakhir yang telah saya tentukan dan pilih sendiri. Pil kematian akan diminum dengan Champagne Dom Perignon, sehingga dengan mana saya akan bisa mati dengan senyuman tersungging dibibir.
Manula yang melakukan bunuh diri adalah seorang pahlawan yang memiliki keberanian. Untuk ini ia berhak mendapatkan pahala, karena dengan demikian menyatakan bahwa dirinya tidak egoist dan rakus ingin hidup terus-menerus tanpa menghiraukan sang generasi penerus.
- Apabila mang Ucup bunuh diri berarti anak istri saya; akan bisa lebih awal dan juga lebih lama menikmati warisan saya.
- Dan warisan tsb tidak perlu disunat lagi untuk biaya rumah sakit maupun rumah jompo.
- Mengurangi beban negara untuk bayar uang pesiun.
- Mengurangi kemacetan di jalanan
- Memberikan kesempatan kepada istri untuk bisa kawin lagi dengan pasangan yang lebih muda
- Mengosongkan rumah maupun tempat saya hidup sehingga tidak mempersesak isi dunia ini.
- Mengurangi populasi penduduk dunia yang sudah padat
- Tidak merepotkan orang lain yang merasa diwajibkan untuk merawat saya dimasa tua.
- Tidak membebankan Dr untuk memberikan suntikan mati seperti halnya pada pasien yang sudah sekarat. (Eutanasia)
Dengan begitu banyak pahala yang bisa didapatkan saya yakin akan masuk surga dan disambut oleh ratusan bidadari yang bahenol.
Pandangan seperti yang saya uraikan tersebut diatas ini bukanlah pandangan konyol dari mang Ucup sendiri melainkan didukung oleh banyak warga di Belanda. Pada tahun 1991 seorang ahli hukum Belanda Huid Drion mengusulkan agar setiap senior diatas 65 tahun diberikan pil obat bunuh diri (My Last Will Pill), sehingga apabila mereka sudah bosan hidup seperti mang Ucup sekarang ini, tinggal sekali Gle…ek diminum; berakhirlah sudah hidupnya.
Pendapat ini didukung oleh lebih dari 43% warga Belanda. Setiap tahun lebih dari 400 orang senior bunuh diri di Belanda. Dengan adanya pil bunuh diri -My Last Will Pill- para senior tidak perlu harus bunuh diri dengan cara yang sangat mengenaskan misalnya gantung diri, atau terjun bebas dari mall ataupun menabrakan dirinya di kereta api.
Prinsip hidup mang Ucup adalah ketika saya muda; saya berusaha untuk bisa hidup dengan baik dan setelah saya tua, saya berusaha agar bisa mati dengan baik pula. Berarti mati tanpa harus menderita, dimana jalan satu-satunya ialah dengan cara mati lebih awal alias bunuh diri.
Hampir setiap pasien yang menderita penyakit parah selalu mengajukan dua pertanyaan standard kepada Dr perawatnya: Apakah saya masih bisa sembuh? – Berapa lama lagi masa hidup saya? Tetapi jarang sekali yang bertanya: Kapan saya bisa mati?
Pada saat ini para manula yang memiliki pandangan hidup seperti mang Ucup sedang mengusahakan untuk bisa mengumpulkan tanda tangan sebanyak 40.000; agar gagasan –My Last Will Pill– ini bisa diterima oleh pemerintah Belanda untuk didiskusikan dan dikemudian hari disahkan menjadi undang-undang seperti halnya undang-undang Eutanasia – hak mati bagi orang yang sakit parah untuk mengurangi penderitaan sang pasien. Belanda adalah negara pertama di dunia ini yang mensahkan undang-undang diperkenannya Eutaniasia pada tahun 2001.
Saya kira gagasan -My last will Pill- ini adalah gagasan yang sangat baik sekali untuk dipraktekan juga di Indonesia. Bagaimana pendapat anda?
Komentar Admin Blog Annunaki:
Wah mang cara-cara di Belanda di mana mamang tinggal dan menetap disana sepertinya kaga bisa untuk saat ini diterapkan di Indonesia. Idenya kontroversial sekali mang 😀 Belanda memang banyak menelurkan kebijakan yang lain sendiri misalnya melegalkan perkawinan antar gay dan mengijinkan euthanasia (mercy killing), tapi Indonesia maih jauuhhh dari ide-ide liberal itu 🙂
Menurut teman-teman blogger gimana?
30 April 2010
Spiritualism