Sejarah Jalan Dago – Bandung

29 Agustus 2015

Bandung

Sejarah Jalan Dago Bandung – Ada pameo yang menyatakan: apabila anda ke Bandung dan belum pernah ke jalan Dago berarti anda belum pernah ke Bandung!

Ke jalan Dago itu sudah merupakan satu kunjungan wajib bagi setiap orang yang berkujung ke Bandung. Tidak bisa dipungkiri bahwa kawasan Dago merupakan kawasan yang paling TOP di Bandung dengan harga tanah yang ajubile: Rp 40 juta per m², walaupun belum semahal harga tanah di Mekah yang telah mencapai Rp 6,2 miliar per m²

Setiap akhir pekan jl. Dago itu dari pagi sampai jauh malam atau Van Reup to Bray, selalu penuh dengan pengunjung yang blek tumplek di Dago, tetapi cobalah tanya adakah yang mengetahui sejarahnya jl. Dago? Jangankan sejarahnya asal muasal namanya Dago pun Ora Mudeng. Hal ini bukan berlaku hanya bagi pengujung jl. Dago saja, bahkan bagi penduduk kota Bandung nya sendiri demikian.

Pada awalnya kawasan Dago ini merupakan hutan belantara yang penuh binatang buas dan sepi, sehingga banyak begal. Jl Dago pasa saat itu merupakan satu-satunya akses jalan ke pasar di pusat kota bagi para petani dari asal Coblong (Lembang). Untuk menyiasati situasi ini mereka hanya berani dan mau melewati kawasan Dago ini apabila berkelompok. Sebelumnya kelompok terbentuk mereka harus saling menunggu; dalam bahasa Sunda = Silih Ngadogoan yang diserat dari kata Dago = Menunggu.

Pembangunan di Dago dimulai pada tahun 1905 oleh Andre van der Brun, dimana ia membangun rumah peristirahatan. Rumah tersebut masih berdiri hingga sekarang letaknya bersebelahan dengan Hotel Jayakarta. Sedangkan pembangunan jalan Dago sendiri dimulai pada tahun 1915 dan diberi nama Dagostraat yang dirubah pada tahun 1970 menjadi Jl.Ir. H.Djuanda. Walaupun demikian bagi penduduk maupun pengunjung kota Bandung sampai saat ini; Dago tetaplah Dago!

Sejak jaman pemerintahan Belanda hingga tahun 1950-an, kawasan Dago dikenal sebagai kawasan perumahan elite yang dimiliki pemerintah Belanda. Dulu kawasan Dago dirancang sebagai kawasan perumahan kapling besar dengan arsitektur Art Deco peninggalan zaman Belanda, tetapi sejak area ini digunakan sebagai areal komersil yang Glamour; semua peninggalan gedung-gedung tersebut hampir punah tak berbekas. Salah satu gedung yang masih tetap dijadikan rumah tinggal adalah rumah dari sahabat saya yang letaknya berhadapan dengan toko kueh LaBelle.

Pada awalnya jalan Dago itu asri dipenuhi oleh pohon rindang di kiri maupun kanan, hanya sayangnya pada tahun 1960 pohon-pohon tersebut ditebang karena perluasan jalan selebar 2 m kiri dan kanan. Di tahun 1970 karena jalan Dago sudah jadi lebar, maka jalan ini sering digunakan sebagai sirkuit arena balapan mobil, terutama disetiap malam Minggu, tetapi sejak adanya jalur pemisah jalan hal ini tidak bisa dilakukan lagi. Apalagi pada saat sekarang ini jangankan untuk bisa ngebut, untuk bisa jalan lebih dari 15 km satu jam pun sulit, karena selalu macet!

dago

Kata sejarah dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab SYAJARATUN yang arti sebenarnya adalah POHON. Maka dari itulah sejak ditebangnya pohon-pohon di Jl Dago, mulai berakhir pulalah sejarah dari Dago.

Bahkan salah satu gedung yang seyogiyanya menjadi gedung cagar budaya yang telah turut tergusur pula ialah SMAK (Sekolah Menengah Atas Kristen) Dago. Sekolah ini sebelumnya bernama Het Christelijk Lyceum (HCL).

Pada awalnya gedung ini merupakan Vila dari seorang pengusaha Tionhoa marga Tan yang dibangun 1927. Pada tahun 1939 Vila Tan ini direnovasi oleh arsitek YS Devvis tahun 1939 lalu dilanjutkan oleh AW Gmelig Meijling tahun 40-an. Hanya sayangnya gedung inipun sekarang ini hanya tinggal kenangan saja.

5 artikel terakhir di blog annunaki

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Sejarah Jalan Dago Bandung

Komentar ditutup.

%d blogger menyukai ini: