Riwayat Braga Stones – Sang Maestro Kecapi

12 Agustus 2016

Bandung, Figur Inspiratif

Riwayat Braga Stones – Nama alat musik tradisional Sunda KECAPI atau KACAPI ini diserap dari bahasa Latin KOETJAPE yang merujuk ke pohon Kecapi atau pohon Sentul. Nama ini diserap, sebab bahan dasar pembuatan alat Kacapi ini adalah pohon Kecapi.

Di Majalengka ada kesenian KECAPAPIAN yang menggunakan Kecapi sebagai waditra utama. Agar dapat mengeluarkan suara yang bagus; kayunya harus direndam terlebih dahulu selama tiga bulan.

Alat musik ini sudah dikenal sejak berabad-abad yang lampau. Di Tiongkok namanya GHUZENG sedangkan di Jepang disebut KOTO.

Kecapi besar atau KACAPI INDUNG (kecapi induk) dulu disebut kacapi pantun atau kacapi PARAHU. Kacapi lainnya adalah KACAPI RINCIK (kecapi anak). Harga kecapi Indung berkisar Rp 3 juta sedangkan untuk Kacapi Rincik Rp. 500.000

Nada dalam Kacapi Sunda memiliki lima (pentatonis) Tangga Nada yaitu: Da, Mi, Na,Ti dan La. Kecapi pada umumnya dipakai untuk mengiringi lagu-lagu daerah yang sifatnya lembut dan mendayu.

Namun ditangan seorang Maestro Kecapi ini bisa berubah menjadi Rock Guitar yang mampu memainkan semua lagu-lagu Barat.

Riwayat Braga Stones

Hari ini kita akan mengajak para pembaca mengenang kembali kepada seorang Maestro Kecapi dari Bandung. Ia lebih dikenal dengan nama BRAGA STONES almarhum. Ia adalah seorang musikus tunanetra. Ia juga rancak memainkan harmonika.

Julukan Braga Stones ini diberikan karena hampir setiap hari mulai dari jam 08 pagi s/d jam 13 siang mangkal di jalan Braga. Sore harinya dilanjutkan lagi mulai dari pkl 5 sore s/d jam 21 malam.

Ia mangkal di sudut jalan Braga di teras depan toko Kacamata Kasoem. Braga Stones yang juga dikenal dengan nama Mang Supeno. Nama aslinya Supeno adalah SLAMET.

Ayahnya seorang Polisi Sunda sedangkan ibunya orang Jawa. Ia dilahirkan di Binjai Sumatera Utara pada saat ayahnya tugas disana. Ia memiliki 9 anak dan anaknya normal semua.

Putri ketujuh dari Supeno bernama Aci tinggal di Garut. Oleh sebab itulah almarhum dimakamkan di Pemakaman Umum Kampung Buleud di kawasan Kadungora Garut.

Setiap kali tampil; ia kerap membawakan lagu-lagu Rolling Stones selainkan lagu-lagu Pop lainnya. Oleh sebab itu para siswa ITB & STSI memberikan kepada dia julukan BRAGA STONES

Mungkin banyak orang meremehkan dia. Maklum ia hanya sekedar pengamen jalanan. Namum ia pernah tampil dalam beberapa judul film maupun sinetron bahkan memiliki album salah satunya BRAGA STONES – KECAPI IN POT.

Beberapa musisi nasional pernah bekerjasama dengan Braga Stones antara lain Tietiek Pusa (Doa, Aku dan Kampus), Sam Bimbo (Coba Lagi) dan Wandi (Di Rantau Orang).

Ia juga sering diajak manggung oleh Bonny Rolies. Puncaknya dimana ia pernah diundang untuk tampil di JAK JAZZ Festival.

Tentu anda akan mengajukan pertanyaan apabila ia sedemikian hebatnya ! Kenapa hanya ingin jadi pengamen jalanan saja, bukannya main di hotel berbintang?

Bimbo pernah coba merangkul Supeno untuk keluar dari ngamen di kaki lima. Namun tidak berhasil ! Braga Stones lebih senang tampil di emperan toko daripada di hotel berbintang. Maklum di Braga ia merasa lebih dekat dengan para penggemarnya yaitu para remaja dan mahasiswa yang penghasilannya pas-pasan dan tidak mampu nongkrong di Hotel berbintang.

Apabila para penggemarnya masih senang nongkrong mendengarkan musiknya, Dengan sabar Supeno masih bersedia menghiburnya sampai jauh malam.

Dengan sebuah Harmonika murahan yang tertancap dengan tangkai kawat di kecapinya. Ia duduk melipat kaki menyatukan kerja jasmani dengan suara batin untuk mengumandankan lagu-lagu melankolik kegemarannya. Sayang ikon kota Bandung ini sudah tidak ada lagi.

Mang Supeno merupakan potret dari seorang seniman yang rendah hati, sederhana dan bertanggung jawab. Ia lebih mengutamakan para penggemarnya dari kalangan masyarakat kelas bawah daripada uang dan tampil di hotel berbintang.

Ia menerima derma apa adanya !. Entah itu Rp 100 ataupun Rp 10.000 dengan penuh syukur dan rasa sukacita. Kelebihan dari seorang Tunanetra ia tidak bisa membedakan antara emperan toko dan lobby hotel berbintang.

Ia tidak bisa membedakan antara Big Boss dan gembel. Ia tidak bisa melihat pakaian, perhiasan ataupun arloji bermerek.

Ia menilai orang bukan dari mata jasmaninya melainkan dari mata batin dan hati nuraninya. Dihadapan hadirat-Nya; kita ini semuanya sama. Walaupun Braga Stones tidak bisa baca Not lagu sekalipun. Namun ia bisa mengalunkan lagu-lagu indah yang hanya ditangkap oleh pendengarannya saja.

Bahkan orang budeg tuli sekalipun kenyataannya bisa menciptakan lagu yang indah. Apakah anda tahu bahwa lagu Song of Joy – Symphony No. 9 itu diciptakan oleh Beethoven setelah ia menjadi tuli? Di mata Tuhan tidak ada bedanya antara Braga Stones dan Mike Jager dari RollingStones. William Shakespeare :

“What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet!

5 artikel terakhir di blog annunaki

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Komentar ditutup.

%d blogger menyukai ini: